Pro Kontra UU KPK

0

 



MAKALAH

Pro Kontra UU KPK

 “HUKUM DAN SISTEM POLITIK“


Penulis : Alvian Octo R

A.   Latar Belakang

Arah Perubahan atau penyempurnaan sistem politik, dipandu oleh sebuah politik hukum. Politik hukum menurut Mahfud adalah arah kebijakan hukum (legal policy) yang dibuat secara resmi oleh negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan untuk mencapai tujuan negara.[1]

Berangkat dari disahkannya UU KPK oleh DPR pada 17 September 2016 menggantikan UU No. 30 tahun 2002 kemudian diundangkan oleh plt. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tjahjo Kumolo pada tanggal 17 Oktober 2019 dan sudah terdaftar dalam lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2019 nomor 197.

Hal ini menandakan bahwa UU N0. 19 tahun 2019 sudah berlaku dan pasal-pasalnya sudah mulai aktif. Banyak masyarakat yang pro dan banyak juga yang kontra terhadap UU KPK ini. Dikutip dari jawapos.com menyatakan bahwa “Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, UU KPK cacat secara formil. Karena itu, tidak ada alasan bagi MK tidak mengabulkan permohonan uji formil yang diajukan oleh 3 komisioner dan 10 pegiat antikorupsi tersebut”.

Kemudian  dalam polkam.go.id. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun niat pemerintah atau Presiden Joko Widodo untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemerintah menyadari jika korupsi sudah merupakan penyakit kronis yang kalau diselamatkan maka dapat memperkuat serta mempercepat pembangunan.

Namun masih banyak yang mencurigai bahwa itu merupakan pelemahan KPK. Berdasarkan hal tersebut pemakalah bermaksud untuk membuat makalah dengan judul Pro Kontra UU KPK.

B.     Perumusan Masalah

Banyaknya anspirasi yang mencurigai pelemahan KPK antara lain: Pelemahan independensi KPK, ada jangka Waktu SP3 2 tahun, Dewan Pengawas lebih berkuasa dari pada pimpinan KPK sehingga pemakalah merumuskan masalah antara lain:

1.      Bagaimana kedudukan KPK?

2.      Bagaimana mekanisme pemberlakuan surat pemberhentian penyidikan perkara (SP3) dalam UU No. 19 tahun 2019?

3.      Bagaimana kedudukan dewan pengawas dan pimpinan KPK?

C.    Pembahasan

1.      Kajian Teori

Berdasarkan pasal 7 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memperbaiki UU 10/2004, disebutkan bahwa Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

·         Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1994

·         Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

·         Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

·         Peraturan Pemerintah

·         Peraturan Presiden

·         Peraturan Daerah Provinsi; dan

·         Peraturan Daerah Kabupaten/kota.[2]

Undang-undang No. 19 Tahun 2019

Dalam Pasal 1 UU No. 19  Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang menjalankan kekuasaan eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini.

4. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel, komunikasi, jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi maupun alat elektronik lainnya.

6. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.[3]

 

Menurut Sudarto tindak pidana korupsi sebagai berikut Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan, bersifat melawan hukum baik secara formil maupun materil dan perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan negara atau perekonomian negara.[4]

Selo Sumardjan merumuskan korupsi yaitu :  Korupsi,kolusi dan nepotisme adalah dalam suatu napas karena ketigannya elanggar kaidah kejujuran dan norma hukum adapun faktor pendukung korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) adalah 1) Pranata- pranata sosial kontrol tidak efektif lagi, 2) penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan harta, 3) Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan pembangunan nasional.[5]

Perbandingan Pasal 3 UU No. 30 tahun 2002 dengan Pasal 3 UU No. 19 tahun 2019 antara lain:

Pasal 3

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.[6]

Pasal 3

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.[7]

 

Perbandingan Pasal 40 UU No. 30 tahun 2002 dengan Pasal 40 UU No. 19 tahun 2019 antara lain:

Pasal 40

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.[8]

Pasal 40

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

(2) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan.

(3) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kepada publik.

 (4) Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dicabut oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.[9]

Dalam ketentuan hukum positif di Indonesia pada saat ini, ada beberapa lembaga yang melakukan penanganan terhadap tindak pidana korupsi baik dalam kapasitasnya sebagai penyelidik dan atau penyidik, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan (Peradilan Umum dan Peradilan ad-hoc Tindak Pidana Korupsi). Dengan demikian, ada tiga upaya hukum yang dapat ditempuh oleh masyarakat apabila ingin berperan serta dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.[10]

1.      Lembaga Kepolisian (Pasal 38 dalam Point c  UU No. 2 Tahun 2002)

2.      Lembaga Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004)

3.      KPK

Dalam Pasal 12B UU No 19 Tahun 2019 menyatakan bahwa:

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.

(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.

(4) Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari DewanPengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

2.      Analisis

a)      Kedudukan KPK

Dalam Pasal 3 UU No. 19 Tahun menyatakan Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal ini menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari Eksekutif yang mana satu bagian ruang dengan Presiden, wakil presiden dan para menteri yang bersifat independen bebas dari pengaruh manapun. Menurut saya seharusnya KPK menjadi bagian dari lembaga pengawas jalannya pemerintahan (Yudikatif)

Namun penguatan lain disampaikan oleh Wiranto menko polhukam dalam polkam.go.id menyatakan bahwa sejumlah Pasal yang menjadi pro dan kontra dan revisi UU KPK ini. Pertama, Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 RUU KPK tentang kelembagaan yang intinya adalah lembaga KPK termasuk ke dalam ranah kekuasaan eksekutif atau lembaga pemerintah. Menurut Menko Polhukam, Pasal ini sebenarnya sudah mendasari keputusan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 36 PUU-XV/2017, di mana keputusan MK itu bukan keputusan yang final dan mengikat. Dikatakan bahwa hal ini bukan mengada-ngada, tetapi hanya melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi. Walaupun KPK termasuk dalam ranah kekuasaan eksekutif atau lembaga pemerintah, tapi dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

b)      Surat pemberhentian penyidikan perkara (SP3)

Pada pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002 KPK tidak mempunyai wewenang untuk pemberlakuan SP3 akan tetapi setelah perubahan KPK mempunyai wewenang tersebut, yang mana dalam pasa 40 (1) UU No. 19 Tahun 2019 Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

Kemudian dalam mekanisme SP3 antara lain dicabut oleh pimpinan KPK, harus dilaporkan ke dewan pengawas paling lambat 1 minggu, dan harus diumumkan ke publik.

c)      Kedudukan Dewan Pengawas dan Pimpinan KPK

Dalam Pasal 12B (1)  UU No 19 Tahun 2019 menyatakan bahwa: Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Hal ini berarti bahwa KPK tidak independen dalam melaksanakan tugasnya karena harus minta izin ke dewan pengawas. Kebingungan saya adalah dalam pasal 37E (1) Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Namun pasal 37A tidak demikian.

Kemudian polkam.go.id Wiranto menjelaskan bahwa pasal 37E revisi UU KPK yaitu tentang pembentukan Dewan Pengawas. Menurut Menko Polhukam, keberadaan Dewan Pengawas dalam institusi KPK ini dibutuhkan untuk kinerja KPK, sehingga sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya yang diberikan oleh undang-undang. Dikatakan bahwa hal ini sejalan dengan aparat penegak hukum yang lain di mana kinerjanya juga diawasi oleh komisi-komisi yang dibentuk, misalnya Kejaksaan Agung yang diawasi oleh Komisi Kejaksaan dan Kepolisian oleh Kompolnas. Sehingga kalau kemudian KPK sebagai bagian dari aparat penegak hukum ada yang mengawasi maka itu bukan suatu hal yang melemahkan, tapi KPK justru punya legitimasi dan akuntabilitas untuk melaksanakan tugas.

Disinilah kadang-kadang orang-orang mengatakan ‘wah itu kan melemahkan karena ada pengawasnya’. Padahal dengan pengawas itu justru legitimasinya bisa lebih dijamin, dengan pengawas itu maka tuduhan kesewenang-wenangan tidak akan ada, tidak akan terjadi abuse of power,” Pasal 12B RUU KPK tentang pelaksanaan penyadapan. Menurut Menko Polhukam, dalam melaksanakan penyadapan dibutuhkan izin tertulis dari Dewan Pengawas agar pelaksanaan penyadapan sesuai dengan due process of law atau berdasarkan kepatuhan terhadap aturan yang ada, sehingga tidak menyimpang dari rule of law.

Berdasarkan UU 19 Tahun 2019 dan pernyataan Wiranto (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan) tersebut diatas. Dengan demikian kedudukan dewan pengawas lebih tinggi dari pada pimpinan KPK.

 

D.    Kesimpulan

Berdasarkan analisis diatas dapat di tarik kesimpulan antara lain:

1.      Kedudukan KPK Berada di Eksekutif.

2.      KPK mempunyai wewenang baru yakni SP3.

3.      Kedudukan Dewan Pengawas lebih tinggi dari pada Pimpinan KPK.

E.    Rekomendasi

Berdasarkan Pembahasan di atas penulis memberikan saran yakni Presiden mengeluarkan perpu agar KPK dapat berjalan diluar eksekutif dan mempunyai wewenang yang bebas tidak terikat dengan pemerintah.

F.     Daftar Pustaka

1)      Buku/Jurnal:

Sadono, Bambang. 2019. Penataan Sistem Ketatanegaraan. Jakarta: Badan Pengkajian MPR RI

Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktik Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Mudzakkir. 2011. Laporan Akhir Tim Kompendium Hukum Tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Kemenkumham. Hlm download:

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&ved=2ahUKEwjr56ei1YLmAhUqzDgGHa6PBCoQFjAHegQIChAC&url=https%3A%2F%2Fwww.bphn.go.id%2Fdata%2Fdocuments%2Fkpd-2011-7.pdf&usg=AOvVaw1jYml798agExsTwndmkmoU)

 

2)      Media:

Ilham Safutra. 2019. Pegiat Antikorupsi Desak MK Batalkan UU KPK Hlm akses:

https://www.jawapos.com/nasional/23/11/2019/pegiat-antikorupsi-desak-mk-batalkan-uu-kpk/

diakses pada 23 November 2019 Pukul 10.00 WIB

Humas Kemenko Polhukam RI. 2019. Ini Penjelasan Menko Polhukam Soal Revisi UU KPK. Hlm akses:

https://polkam.go.id/ini-penjelasan-menko-polhukam-soal-revisi-uu-kpk/

diakses pada 23 November 2019 Pukul 05.00 WIB

 

3)   Undang-undang:

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia



[1] Bambang Sadono, 2019, Penataan Sistem ketatanegaraan, Jakarta: Badan Pengkajian MPR RI, hlm. 178

[2] Bambang Sadono, 2019, Penataan Sistem ketatanegaraan, Jakarta: Badan Pengkajian MPR RI, hlm. 223

[3] UU No. 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi

[4] Nurdjana, Korupsi Dalam Praktik Bisnis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 3

[5] Ibid, hlm.9                                                                  

[6] UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi

[7] UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi

[8] UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi

[9] UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Tindak Pidana Korupsi

[10] Mudzakkir, Laporan Akhir Tim Kompendium Hukum Tentang Lembaga Pemberantasan Korupsi, Kemenkumham, Jakarta 2011 hlm. 77

 

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top